Filsafat Imam Al-Ghazali
Filsafat
Imam Al-Ghazali
Epistemologi,
Moral, Dan Jiwa
Mengkaji Filsafat Islam tidak
semudah membalikan telapak tangan. Ia sarat dengan muatan teologis dan
historis. Secara historis, tarik menarik kepentingan bahwa orisionalitas
filsafat itu berasal dari Yunani atau Islam adalah fakta yang tak bisa di
hindari. Begitu pula dalam tataran teologis, penerimaan filsafat kerap
berbenturan antara pandangan keimanan dan pemikiran liberal filsafat.
Filsafat berbeda dengan ilmu
pengetahuan lainnya dari segi sifat penyelidikannya, Filsafat mempunyai sifat mendalam
dalam menyelidiki sesuatu. Adapun objek pengetahuan hanya terbatas pada
sesuatu yang bisa di selidiki secara ilmiah saja, dan jika dapat di selidiki
lagi, ilmu pengetahuan akan terhenti sampai di stu. Akan tetapi, penyelidikan
filsafat akan terus bekerja hingga permasalahannya dapat ditemukann sampai
akar-akarnya.
Dalam tradisi
filsafat, agar bisa sampai pada suatu makna yang esensi dari suatu hal,
seseorang harus melakukan penjelajahan secara radikal, logis, dan serius. Untuk
dapat mengenal lebih dekat dengan teori filsafat islam para filsuf, di sini
kami akan mengkaji secara khusus mengenai filsafat Imam Al-Ghazali. Al-Ghazali
adalah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam yang sangat produktif dalam
menulis mengenai epistemologi dan filsafatnya.
Al-Ghazali membagi
filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dhariyyun), naturalis (thabi’iyyun),
dan theis ( ilahiyyun). Banyak sekali karya-karya beliau yang masih
dapat kita kaji, lebih jelasnya kami akan mengulas tentang filsafatnya dalam
pembahasan mengenai epistemologi, moral dan jiwa. Dari karya dan filsafat
beliau ini, kita dapat memperoleh banyak sekali ilmu dan pembelajaran,
diantaranya mengenai pengenalan jiwa dan moral yang baik. Maka dari itu
Filsafat Al-Ghazali sangat penting untuk
diketahui.
B.
A.
Biografi
Imam Al-Ghazali
Nama lengkapnya
Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali, digelar Hujjah al-Islam. Dia lahir
di Thus di Khurasan, dekat Masyhad Iran, pada 450 H/1058 M. Dia dan Ahmad,
saudaranya di tinggal yatim pada usia dini. Pendidikannya di mulai di Thus,
lalu pergi ke Jurjan. Dan sesudah satu periode lebih lanjut di Thus, Dia pergi
ke Naisabur tempat Dia menjadi murid Al-Juwaini Imam Al-Haramain hingga
meninggalnya yang terakhir pada 478 H/1085 M. Dari Naisabur, Al-Ghazali pergi
ke kampus Nizam Al-Mulk dan di sana dia diterima dengan kehormatan dan
kemuliaan.
Pada 484 H/1091
M, Dia diutus oleh Nizam Al-Mulk untuk menjadi guru besar di madrasah
Nizhamiyyah di Baghdad. Selama empat tahun ia memberi kuliah kepada lebih dari
tiga ratus mahasiswa, pada saat yang sama dia menekuni kajian filsafat dengan
penuh semangat lewat bacaan pribadi, dan menulis sebuah buku.
Namun, pada 488
H/1095 M dia menderita penyakit jiwa yang secara fisik membuatnya tak dapat
memberi kuliah. Beberapa bulan kemudian dia meninggalkan Baghdad denga untuk
melaksanakan Haji, tetapi sebenarnya Ia ingin meninggalkan status guru besarnya
dan kariernya secara keseluruhan selaku ahli hukum dan teolog. Al-Ghazali
berkata dia takut masuk neraka dan melakukan banyak kritik terhadap kerusakan
yang dilakukan ulama pada masanya. Besar kemungkinan bahwa dia meninggalkan
jabatan yang di dalamya dia terlibat, di karenakan jabatan tersebut korup. Oleh
karenanya sebab itu, satu-satunya cara untuk mengarah kepada kehidupan yang
benar dia harus meninggalkan jabatan tersebut seluruhnya.
Dari penolakan Al-Ghazali atas
jabatan guru besarnya di Baghdad, hingga kembali ke Naisabur untuk mengajar
pada 499 H/1106 M, ada jangka waktu sebelas tahun dan kadang-kadang dikatakan,
bahkan juga dalam catatan-catatan biografis Muslim awal, bahwa Al-Ghazali
menghabiskan waktu sepuluh tahun di Suriah.Sejak kepergiannya dari Baghdad
bulan Dzulqa’dah di Damasus, lalu pergi ke Madinah dan Mekkah lewat Jarusalem
dan Hebron, sambil melaksanakan haji pada 489 H/November-Desember 1096 M.
Pada periode
pengunduran dirinya di Damasus dan Thus Al-Ghazali hidup sebagai sufi yang
miskin, selalu menyendiri, menghabiskan waktunya dengan meditasi dan pelatihan
ruhaniah lainya. Pada eriode inilah Dia menulis Ihya Ulum Al-Din, karya
besarnya tentang etika. Menjelang akhir periode ini, Al-Ghazali telah
berkembang jauh sepanjang jalan mistik, dan yakin bahwa itulah jalan hidup
tertinggi bagi manusia.
Dalam Ihya
Al-Ghazali dengan jelas menyatakan pentingnya syaikh atau “pembimbing moral” sebagai figur
sentral. Doktrin ini memiliki banyak pengaruh dalam membangun tipe pemikiran
yang di anut oleh para penganut doktrin mistik. Bagi Al-Ghazali, “doktrin
mistik” yang berkaitan dengan ide “pembimbingan moral” secara keseluruhan
tidaklah baru, dia hanya mengalihkan doktrin ini dari tokoh mistik pendahulunya
Pada 499
H/1105-6 M, Fakhr Al-Mulk, putra Nizam Al-Mulk, an Wajir Sanjar, penguasa
Saljukiah di Khurasan, menekan Al-Ghazali untuk kembali ke kerja akademik. Dia
menyerah atas peneknan itu, karena ia percaya bahwa ia di takdirkan menjadi
pembaru agama (mujaddid). Pada bulan Zulqa’dah/Juli-Agustus1106 M,
Al-Ghazali mulai mengajar di Nizamiyah di Nasyabur dan tidak lama sesudah itu
menulis karya autobiografis Al-Munqidzmin Dhalal. Namun, sebelum
meninggalnya pada bulan Jumadda Al-Tsaniyah 505 H/Desember 1111 M, Al-Ghazali
kembali berhenti mengajar dan kembali ke Thus. Sebelum berangkat ke Naysabur,
dia mendirikan khanaqah atau pusat sufi, tempat dia melatih murid muda
mengenai teori dan praktik kehidupan sufi.
Karya-Karya
Al-Ghazali
Al-Ghazali
adalah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam yang sangat produktif dalam
menulis. Dalam masa hidupnya baik ketika menjadi pembesar negara di Mu’askar
maupun ketika sebagai profesor di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Nasiabur
maupun stelah berada di dalam akhir hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha menulis
dan mengarang.
Jumlah kitab yang di tulis Al-Ghazali sampai searang belum
disepakati secara definitif oleh para penulis sejarahnya. Menurut Ahmad Daudy
penelitian tentang jumlah buku yang di karang Al-Ghazali, dan di kumpulkan
dalam satu buku oleh Abdurahman Al-Badawi Berjudul Muallafat Al Ghazali. Adapun
kitab yang berhubungan dengan Al-Ghazali di klasifikasikan ke dalam tiga
kelompok, pertama terdiri atas 72 kitab di pastikan asli karyanya. Kedua,
terdiri dari 22 kitab dan di ragukan sebagai karyanya yang asli. Ketiga,
terdiri dari 31 kitab yang bukan karyanya.
Sedangkan pendapat Badawi mengatakan jumlah karangan Al-Ghazali ada
47 buah, dianaranya:
1.
Ihya Ulum
Ad-Din (Membahas Ilmu-Ilmu Agama),
2.
Tahafut
Al-Falasifah (Menerangkan Pendapat Para Filsuf Di Tinjau Dari Segi Agama),
3.
Al-Iqtishad Fi
Al-‘Intiqad (Inti Ilmu Ahli Kalam),
4.
Al-Munqidz Min
Adh-Dhalal (Menerangan Tujuan Dan Rahasia-Rahasia Ilmu),
5.
Jawahir
Al-Qur’an (Rahasia-Rahasia Yang Terkandung Dalam Al-Quran),
6.
Mizan Al-‘Amal
(Tentang Filsafat Keagamaan),
7.
Al-Maqashid
Al-Asna Fi Ma’ani Asma’illah Al-Husna (Tentang Arti Nama-Nama Tuhan),
8.
Faishal
At-Tafriq Baina Al-Islam Wa Al-Zindiqiah (Perbedan Antara Islam Dan Zindiq),
9.
Al-Qisthas
Al-Mustaqim (Jalan Untuk Mengatasi Perselisihan Pendapat),
10. Al-Mustadhhriy,
11. Hujjat
Al-Haq (Dalil Yang Benar),
12. Mufahil
Al-Khilaf Fi Ushul Ad-Din (Menjauhkan
Perselisihan Ad-Din),
13. Kimiya
As-Sa’adah (Menerangkan Syubhat Ahli Ibadah),
14. Al-Basith
(Fiqh),
15. Al-Wasith
(Fiqh),
16. Al-Wajiz
(Fiqh),
17. Al-Khulusahah
Al-Mukhtasharah (Fiqh),
18. Yaqut
At-Ta’wil Fi Tafsir At-Tanzil (Tafsir 40 Jilid),
19. Al-Mustasfa
(Ushul Fiqh),
20. Al-Mankhul
(Ushul Fiqh),
21. Al-Muntaha
Fi ‘Ilmi Al-Jadal (Cara-Cara Berdebat Yang Baik),
22. Mi’yar
Al-‘Ilmi (Timbangan Ilmu),
23. Al-Maqashid
(Yang Dituju),
24. Al-Madnun
Bihi ‘Ala Ghairi Ahlihi,
25. Misykat
Al-Anwar (Pelajaran Keagamaan),
26. Mahku
An-Nadhar,
27. Asraru
‘Ilmi Ad-Din (Rahasia Ilmu Agama),
28. Minhaj
Al-Abidin,
29. Ad-Darar
Al-Fakhirah Fi Kasyfi ‘Ulum Al-Akhirah (Tasawuf),
30. Al-Anis
Fi Al-Wahdah (Tasawuf),
31. Al-Qurbah
Ila Allah ‘Azza Wa Jalla (Tasawuf),
32. Akhlaq
Al-Abrar (Tasawuf),
33. Bidayat Al-Hidayah (Tasawuf),
34. Al-Arba’in
Fi Ushul Ad-Din (Ushul Al-Din),
35. Adz-Dzari’ah
Ila Mahaim Asy-Syari’ah (Pintu Ke Pengadilan Agama),
36. Al-Mabadi
Wa Al-Ghayat (Permula’an Dan Tujuan),
37. Talbisu
Iblis (Tipu Daya Iblis),
38. Nashihat
Al-Mulk (Nasihat Bagi Raja-Raja),
39. Syifa’u
Al-‘Alil Fi Al-Qiyas Wa At-Talil (Ushul Fiqh),Hazali
40. Iljam
Al-Awwam ‘An ‘Ilmi Al-Kalam (Ushul Ad-Din),
41. Al-Intishar
Lima Fi Al-Ajnas Min Al-Asrar (Rahasia-Rahasia Alam),
42. Al-‘Ulum
Al-Laduniyah (Ilmu Laduni),
43. Ar-Risalah
Al-Qudsiyah,
44. Isbat
An-Nadhar,
45. Al-Ma’akhidz
(Tempat Pengambilan),
46. Al-Qaul
Al-Jamil Fi Ar-Raddi ‘Ala Man Ghayyara Al-Injil (Perkataan Yang Baik Bagi Orang
Yang Mengubah Injil),
Berfilsafat menurut Imam Al-Ghazali
Berfilsafat adalah menggunakan logika (akal) dengan kajian analisisnya
maka apa yang di maksud dengan akal dan pandangan posisi akal di gunakan
sebagai titik tolak al-ghazali dalam memandang filsafat dan ilmu-ilmu
lainnya.Filsafat menurut al-ghazali terbagai menjadi enam bagian: “ilmupasti,
ilmu logika,ilmu alam,ilmu ketuhanan, ilmu politik, dan ilmu akhlak. Di
samping itu pada dasarnya al-ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat
tersebut, kecuali filsafat ketuhanan (metafisika) dimana para filsuf
sangatmengagungkan peranan akal yang “mengalahkan” agama dan syari’at.
Menurut al-ghazali, secara teoritis, akal dan syara’ tidak
bertentangan secara hakiki, karena semuanya adalah cahaya petunjuk dari Allah
SWT. Demikian juga, di tinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang
bertentangan dengan hakikat ilmiah. Al-ghazali melihat bahwa satu sama lainya
saling mendukung dan membenarkan.
Filsafat Imam Al-Ghazali
a.
Epistemologi
Seperti yang
dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidzmin al-Dhalal, ia ingin
mencari kebenaran sejati, kebenaran yang diyakini betul-betul merupakan
kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banya dari tiga. “sekiranya ada
orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen
bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang betul ia laksanakan,
saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikaian keyakinan saya bahwa
sepuluh lebih banyak dari tiga tidak
akan goyah”. Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.
Awalnya
Al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat di
tangkap oleh panca indera, teteapi emudian baginya ternyata panca indera juga
berdusta, seumpamanya bayangan rumah, kelihatan tak bergerak, padahal terbukti
kemudaian, bayangan itu berpindah tempat. Demikian pula bintang-bitang di
langit, kelihatannya kecil, tetapi perhitungan menyatakan bahwa bintang-bintang
itu lebih besar dari bumi.
Karena tidak
percaya kepada panca indera, Al-Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya
kepada akal. Tetapi akal juga tak dapat dipercaya. Sewaktu bermimpi, demikian
menurut Al-Ghazali, orang meihat hal-hal yang kebenarannya betul-betul, namun
setelah bangun ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah
benar. Alasan lain yang membuat kepercayaan Al-Ghazali terhadap akal goncang,
karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang menggunakan akal sebagai sumber
pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang
sulit di selesaikan dengan akal. Artinya, akal pada dirinya membenarkan
pandangan-padangan yang bertentangan itu. Dengan akal saja takafu’
al-adillah (antinomi) bisa terjadi. Seperti disebut di atas, yang di cari
oleh Al-Ghazali adalah ‘ilm al-yaqini yang tidak mengandug pertentangan
ada dirinya. Pada akal ia tidak menemukannya. Namun, Al-Ghazali tidak konsekwen
dalam menguji kedua sumber pengetahuan itu, ia menggunakan argumentasi faktual
atas kelemahannya. Tetapi, ketika membuktikan adanya sumber pengetahuanyang
lebih tinggi daripada akal, ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi)
saja. Ia, ketika itu tidak berhasil membuktikan adanya sumber pengetahuan yang
lebih tinggi daripada akal secara faktual. Akhirnya Al-Ghazali mengalami puncak
kesangsian, karena ia tidak menemuan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya.
Tetapi dua bulan kemudian, dengan cara tiba-tiba Tuhan memberikan nur yang disebut Al-Ghazali sebagai kunci marifat
dalam hatinya, sehingga ia merasa sehat dan dapat menerima kebenaran
pengetahuan secara a priori yang bersifat aksiomatis. Dengan demikian
bagi Al-Ghazali bahwa al-dzawq (intuisi) lebih tinggi dan lebih di
percaya dari pada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini
kebenrannya. Sumber pengetahuan tertinggi tersebut di namakan juga al-nubuwwat,
yang pada nabi-nabi berbentuk wahyu dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga
golongan, yaitu materialis (dhariyyun), naturalis ( thabi’iyyun),
dan theis ( ilahiyyun). Kelompok pertama terdiri dari para filsuf awal,
seperti Empedokles (490-430 SM) dan Demokritus (460-360 SM), mereka menyangkal
pencipta dan pengatur dunia dan yakin bahwa dunia ini telah ada sejak dulu.
Peristiwa-peristiwa alam adalah perubahan yang terus menerus. Al-Ghazali
menganggap mereka tidak beragama.
Naturalis
terpesona oleh keajaiban penciptaan dan sadar akan maksud yang berkelanjutan
dan sadar akan kebijaksanaan dalam rencana segala sesuatunya, mengakui
eksistensi suatu pencipta bijaksana tetapi menyangkal kerohanian dan sifat
immateriality jiwa manusia. Mereka menjelaskan perihal jiwa dalam istilah
naturalis sebagai suatu epifenomena jasad dan yakin bahwa kematian jasad
menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali.
Kepercayaan
pada surga, neraka dan hari akhirat mereka pandang sebagai dongeng nenek-nenek
atau khayal ulama. Karena mereka menyangkal hari kemudian, Al-Ghazali memandang
mereka pun tidak religius. Yang dalam istilah Al-Ghazali di sebut zindiq. Kaum
theis tergolong para filsuf lebih modern dan mencakup Socrates, Plato, dan
Aristoteles.
Meski mereka
menyerang golongan materialis dan naturalis, serta menelajangi cacat mereka
dengan efetif sekali, Al-Ghazali berpendapat, kaum theis ini masih menyimpan
sisa kekafiran dan paham bid’ah. Sebab itu dia menilai mereka maupun para
filsuf musim yang mengikutinya sebagai
kaum kafir.Menurut pedapatnya, di antara pengikut mereka, Al-Farabi dan Ibn
Sina adalah penerus terbaik filsafat aristoteles. Beberapa bagian dari yang
mereka teruskan dinilainya sebagai kekafiran belaka, beberapa lagi sebagai
bid’ah besar dan yang lain sebagai hal yang tak dapat diingkari sama sekali.
b. Moral
Dalam satu karya masa awalnya, Mizan
al-‘Amal, akhlak merupakan bahan pemikiran utama. Kebanyakan karya akhirnya ,
bersifat etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Adapun teori etika
yang dikembangkannya bersifat religius dan sufi. Hal itu terlihat jelas
penamaan Al-Ghazali ini pada karya-karya akhirnya, setelah ia menjadi sufi
tidak lagi memepergunakan ungkapan ‘ilm akhlaq, tetapi dengan ” ilmu
jalan akhirat”(‘ilm thariq al-akhirat) atau jalan yang dilalui para nabi
dan leluhur saleh (al-salaf al-shalih). Ia juga menamakannya dengan ”
ilmu agama praktis” (‘ilm al-mu’amalah).
Ada tiga teori
penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu (a) mempelajari akhlak
sekedar sebagai studi murni teoritis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan
(moralitas), tetapi tanpa masud mempengaruhi perilaku orang yang
mempelajarinya; (b) mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan
perilaku sehari-hari; (c) Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang
berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam
penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar
moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu obyek praktis, seakan-akan
tanpa maunya sendiri.
Al-Ghazali setuju dengan teori kedua. Dia
menyatakan bahwa studi tenntang ilm al-muamalahdimaksudan guna latihan
kebiasaan: tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar
kebahagiaaan dapat di capai akhirat.
Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat di cari, dan keburukan tak dapat di
hindari dengan sempurna. Prinsip-prinsip moral di pelajari dengan maksud
menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Ghazali
menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak di amalkan tidak lebih baik dari pada
kebodohan. Berdasarkan
pendapatnya ini, dapat dikatakan bahwa akhlak yang di kembangkan Al-Ghazali
bersifat teologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu
kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan
yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan amal itu baik kalau dia
menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan tersebut,
dan di katakan amal itu buruk , kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan itu.
Bahkan amal ibarat seperti shalat dan zakat adalah baik di sebabkan akibatnya
bagi jiwa. Derajat baik atau buruk berbagai amal berbeda oleh sebab perbedaan
dalam hal pengaruh yang di timblkannya dalam jiwa pelakunya.
Adapun masalah
kebahagiaan menurut Al-Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan Uhrawi (al-saadah
al-ukhrawiyyah) yang bisa di peroleh dengan mengendalikan sifat-sifat
manusia dan bukan membuangnya. Kebahagiaan uhrawi memunyai empat ciri khas,
yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tanpa
kebodohan, dan kecukupan (ghina) yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna
kepuasan yang sempurna.
Kebahagiaan di
surga ada dua tingkat, yang rendah terdiri dri kesenangan indrawi mengenai
makanan dan minuman, pergaulan dengan bidadari, pakaian indah, istana dan
seterusnya. Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah dekat dengan Allah, dan menatap
wajah-Nya yang Agung.
c. Jiwa
Manusia menurut
Al-Ghazali di citaptakan oleh Allah sebagai mahluk yang terdiri dari jiwa dan
jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani
yang sangat halus (lathifah rabbaniyyah). Istilah yang digunakannya
untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan ‘aql.
Jiwa bagi
Al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bahkan suatu keadan atau
aksiden (‘ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang
adanya bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa, berada di alam spiritual,
sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan
malaikat. Asal dan sifat ilahiyyah. Ia tak pre-eksisten, tidak berawal
dengan waktu, seperti menurut Plato dan filsuf lainya. Tiap jiwa pribadi di
ciptakan di alam atas (alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki
rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian jasad musnah,
tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali
kehilangan wadahnya. Jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian,
ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna
dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan fisik. Sebab apabila
fisik manusia mempunyai kemampuan memahami objek-objek fisik lainya juga mesti
memahami kenyataanya tidak demikian.
Bagi
Al-Ghazali, jiwa yang berasal dari Illahi mempunyai potensi kodrat, yaitu
kecenderungannya pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada waktu lahir
ia merupakan jiwa yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (alam
al-malakut atau alam al-amar, Q.S. Al-Isra’ 17: 85), sedangkan jasad
berasal dari alam al-khalaq. Karena itu, kecenderungan jiwa, pada
kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat
aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu akan alam atas dain mendampingi malaikat,
namun kerap diredam keinginan duniawi.
Mengenai
perihal kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan
sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Disini
Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimin
(kemungkinan hancurnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai
filsuf (jiwa mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian bantahan
Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukuya,
Tahafut Al-Falasifah, bukan ditekanan pada kekekalan jiwa; yang
di bantahnya adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filsuf untuk
membuktikan kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya jiwa syara’ yang bisa
menjelaskan persoalan al-ma’ad (kehidupan di akhirat)
Adapun
hubungan jiwa dan jasad dari segi
pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuanya,
jiwa bisa mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad
hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat
diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik-baik.
Meskipun jiwa
dan jasad merupakan wujud yang berbeda keduanya saling mempengaruhi dan
menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan
akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa asalkan
perbuatan itu dilakukan secara sadar. Demikian pula sebaliknya, jiwa
memepngaruhi jasad. Kemauan atau keengganan untuk melakukan suatu perbuatan
tergantung pada kuat atau lemahnya kualitas tadi. Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan
karena interaksi inilah jiwa itu di turunkan ke alam benda atau duniawi agar ia
dapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatan.
Kesimpulan
Nama lengkapnya Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali,
digelar Hujjah al-Islam. Dia lahir di Thus di Khurasan, dekat Masyhad Iran,
pada 450 H/1058 M. Pendidikannya di mulai di ThusPada 484 H/1091 M,
Al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir dalam dunia islam yang
sangat produktif dalam menulis. Filsafat menurut al-ghazali terbagai menjadi
enam bagian: “ilmu pasti, ilmu logika,ilmu alam,ilmu ketuhanan, ilmu politik,
dan ilmu akhlak.
Al-Ghazali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dhariyyun),
naturalis (thabi’iyyun), dan theis ( ilahiyyun). Kebanyakan karya
al-ghazali bersifat etis moralitis yang menjamin kebahagiaan sempurna.
. Kebahagiaan uhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan
tanpa akhir, kegembiraan tanpa duka cita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan
kecukupan (ghina) yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang
sempurna.
Jiwa bagi Al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bahkan
suatu keadan atau aksiden (‘ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri.
Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, bukan sebaliknya. Jiwa, berada di
alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi Al-Ghazali, berasal
sama dengan malaikat. Asal dan sifat ilahiyyah. Ia tak pre-eksisten,
tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato dan filsuf lainya.
Adapun hubungan jiwa dan
jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga
dengan bantuanya, jiwa bisa mendapatkan bekal. Jiwa merupakan inti hakiki
manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution Hasyimsyah,Fisafat Islam,(Jakarta: Gaya Media
Pratama),2002.
Supriyadi Dedi,Pengantar Filsafat Islam,(Bandung: Pustaka
Setia),2009.
Mahzar Armahedi,Revolusi Integralisme Islam,(Bandung: Mizen
Media Utama),2014. hal 299.
Subhi Mahmud Ahmad,Filsafat Etika,Serambi Ilmu Semesta,2001.
hal 328.
Abdullah Amin,Filsafat Etika Islam,(Bandung: 2002), hal 252.
[1]Ahmad Daudy,
Kuliah, hlm,99.
[2] Badawi,
hal. 22-23
[3]Dengan
cakupan uang luas apa yang dimaksud ilmu filsafat oleh al-ghazali beraarti tidak
semua dengan apa yang di pahami sekarang.
[4]Al-Ghazali,
Al-Munqidz, hlm. 4.5. Lihat juga Nasutoin, Falsafat dan Misticisme,
hlm 35-36
[5]Al-Ghazali,
Al-Munqidz, hlm.30-32 F
[6]Al-Ghazali,
Ihya ‘Ulum al-Din, jilid IV, hlm. 272-273.
[7]Al-Ghazali,
Ihya’. Jilid III, hlm. 8
[8]Al-Ghazali,
Mutiara Ihya Ulumudin, (Bandung: Mizan, 2002), hlm.195.
[9]Quasem,
hlm.42.